Fasilitator PSGPA Umsida Menilai Stigma Laki-Laki Miliki Power Lemahkan Perempuan dalam Pendidikan

author republikjatim.com

republikjatim.com

Sabtu, 21 Agu 2021 15:29 WIB

Fasilitator PSGPA Umsida Menilai Stigma Laki-Laki Miliki Power Lemahkan Perempuan dalam Pendidikan

i

PAPARAN - Fasilitator Gender Umsida, Dr Inayah Rohmaiyah saat memaparkan perspektif gender untuk kalangan guru (penganjar) secara daring (online) kemarin.

Sidoarjo (republikjatim.com) - Para dosen yang tergabung dalam Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak (PSGPA), Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menggelar zoom meeting. Acara yang digelar secara virtual ini bertema Presentasi Unit dan Review Draft Modul. Kegiatan ini dimotori Tim Implementasi Penyusunan Modul Sekolah Responsif Gender.

Salah satu fasilitator kegiatan ini Dr Inayah Rohmaiyah. Kegiatan ini hasil kolaborasi Umsida dan Inovasi.

"Pembahasan utamanya kesetaraan gender. Yakni apakah perempuan sudah memiliki hak yang sama dengan laki-laki di dunia? Apakah bapak dan ibu guru memperlakukan siswa laki-laki dan perempuan sesuai dengan kemampuannya," ujar Inayah Rohmaiyah kepada republikjatim.com melalui rilis Sabtu (21/08/2021).

Inayah menambahkan secara eksplisit dalam buku pelajaran sekolah ditemukan beberapa hasil kajian. Diantaranya buku tematik di sekolah sasar dari cerita, gambar dan profesi pekerjaan sudah termasuk gender. Hal ini karena geder sudah masuk dalam dunia pendidikan.

"Gender itu konsep yang merujuk konstruksi sosial tetang laki-laki dan perempuan dan dipersepsikan banyak kalangan gender sebagai 'masalah perempuan'. Konsep ini menimbulkan kesalahpahaman antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan ketidakadilan. Kenyataannya, gender mengacu peran dan hubungan yang ditentukan secara sosial antara laki-laki dan perempuan," imbuhnya.

Inayah menjelaskan peranan gender dapat diubah dan bervariasi dari waktu ke waktu serta dari komunitas ke komunitas. Secara sadar atau tidak sadar, peran gender dibawa ke dalam dinamika dunia pendidikan. Terutama, pada dinamika di kelas antara guru dan murid yang berdampak pada proses pembelajaran.

"Semua itu bertujuan agar semua dapat memahami konsep seks dan gender, bentuk-betuk diskriminasi berbasis gender, mengidentifikasi akar kesenjangan gender dan diskriminasinya. Sekaligus menguatkan peran dan konsep gender dalam dunia pendidikan," tegasnya.

Inayah memapaparkan konstruksi dan stigma yang melemahkan perempuan, karena laki-laki dianggap memiliki power. Stigma itu berakibat terhadap kekerasan gender. Karena itu, tidak jarang ditemui kekerasan berbasis gender di lingkungan sekolah. Terkadang justru guru yang menjadi pelaku kekerasan berbentuk gender ini.

ADVERTISEMENT

republikjatim.com vertical

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Kekerasan gender biasa dihadapi anak-anak perempuan dan laki-laki. Kekerasannya, tidak hanya berbentuk kekerasan fisik tetapi juga berupa pelecehan seksual. Diantaranya kekerasan bahasa dan gerak tubuh yang kasar, sentuhan dan godaan-godaan yang tidak pantas disertai ancaman," ungkapnya.

Karen itu, kata Inayah para guru harus memahami sifat kekerasan berbasis gender. Jika dibutuhkan terlibat aktif dalam mencegah dan menangani masalah kekerasan berbasis gender yang terjadi di sekolah.

"Dengan cara mengidentifikasi dan mengatasi gejala trauma berupa dukungan psiko-sosial dan kesejahteraan emosional anak soal gender bisa dipahami semua pihak. Termasuk kesejahteraan reproduksi dan sosial sebagai bentuk keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial serta terbebas dari segala macam penyakit dan kecacatan," urainya.

Sementara Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak (PSGPA), Kemil Wachidah menegaskan kesehatan seksual bertujuan meningkatkan kehidupan dan hubungan pribadi, bukan hanya konseling dan perawatan. Menurutnya, waktu yang ideal untuk memperkenalkan informasi kesehatan seksual dan reproduksi pada pendidikan seksual anak dimulai pada usia sekolah dasar.

"Pada masa sekolah dasar terjadi tahapan perubahan fisik, emosional dan sosial. Agar terwujud sekolah peka gender dengan memberi pelatihan guru agar memahami tentang keadilan dan kesetaraan gender. Bahkan menyusun, melaksanakan dan memantau peraturan-peraturan sekolah yang nyaman dan aman bagi siswa laki-laki dan perempuan," tandasnya. Hel/Waw

Editor : Redaksi

republikjatim.com horizontal