Oleh: Suhendra Mulia, M.Si. (Humas Madya LIPI)
Soliditas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan (sifat) solid (kukuh, berbobot dan sebagainya). Dan Partai Politik (KBBI) adalah Perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu.
Perjalanan suatu organisasi tentunya bertitik tumpu pada berhasil atau tidaknya seorang pemimpin dalam menjalankan roda organisasi dan membentuk tim kerja yang solid. Oleh karena itu, antara pemimpin dan individu organisasi lainnya adalah satu tim yang tak bisa dipisahkan. Di dalam KBBI organisasi politik mempunyai arti yaitu Institusi atau seperangkat tatanan yang dipakai masyarakat umum untuk mengatur berbagai masalah bersama. Untuk menciptakan tim yang solid, sangat diperlukan hubungan yang harmonis dan mantap, antara pemimpin dan antar individu lainnya didalam organisasi. Pemimpin (KBBI) adalah orang yang memimpin. Maka dari itu, yang perlu dikembangkan adalah atmosfir atau suasana yang kondusif dalam menjaga relasi interpersonal antar individu di dalam tim. Prof. Dr. Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berpendapat eksistensi partai-partai yang solid adalah salah satu prasyarat bagi kuatnya demokrasi. Demokrasi akan kuat manakala ditopang oleh partai yang mampu menjalankan semua fungsi-fungsinya secara baik. Fungsi-fungsi partai politik manakala dijalankan dapat membantu menguatkan demokrasi mulai dari pendidikan politik, resolusi konflik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan sebagainya. Kemampuan untuk menciptakan keutuhan partai juga berkorelasi dengan kemampuan menjalankan fungsi secara efektif.
Partai yang dirundung fragmentasi akan menghabiskan waktu dan energinya untuk persoalan pertarungan dan pembenahan internal. Dampaknya tidak saja meredupkan kerja-kerja di akar rumput juga dapat mempengaruhi performa partai di level parlemen dan pemerintahan. Soliditas partai dipengaruhi beberapa faktor antara lain; 1). peran individual/ketokohan, 2). peran lingkungan/eksternal (Peran lingkungan sosio-politik, Peran rezim dan Peran sistem pemerintahan), 3). Merupakan Partai Ideologis, 4). Tipe Partai (Tersentralisasi, Kader, Massa, Disiplin), 5). Kuatnya Pelembagaan/Kematangan Partai.
Soliditas Partai dari Masa ke Masa
Pandangan lainnya dari Firman Noor terkait soliditas partai yang dijabarkan dari masa ke masa. Soliditas pada era tahun 1945-1959, Soliditas awal terjadi namun terganggu tidak lama setelahnya. Terjadi perpecahan partai (KASUS MASYUMI): (1) perangkat partai yang masih mencari bentuk dan partai yang belum terlembaga, (2). Semangat faksi atas dasar afiliasi ormas masih demikian besar (NU, Muhammadiyah, Sarekat Islam, dsb), sebuah eksperimen “Konfederasi”, (3) Manuver eksternal juga berhasil menciptakan fragmentasi, (4) Keleluasaan dalam mendirikan partai (sistem “demokrasi liberal”).
Pada tujuh tahun berikutnya relatif stabil: (1) Partai menjadi representasi (purifikasi) ideologi dan ideologi berperan penting (ideology matters), partai menjadi identitas politik (2) Ketokohan partai yang tinggi, sehingga ada elemen pemersatu.
Soliditas partai pada era tahun 1959-1998, Soliditas dibangun lebih pada kepentingan untuk dapat bertahan hidup, dimana ancaman lingkungan yakni pembubaran partai demikian menghantui, pasca pembubaran Masyumi, PSI, Murba dan tereleminasinya PSII-Abikusno. Faksi-faksi dalam partai menahan diri untuk kepentingan bersama. Menyadari keributan tidak akan membawa mobilitas politik yang menguntungkan.
Pada masa Orde Baru terjadi Fusi Partai yang membuat partai-partai tersisa tidak ada pilihan lain selain “berdesakan dalam satu rumah” dengan segenap kepenatannya. Faksionalisasi kerap diredam atau diselesaikan dengan intervensi negara. Soliditas adalah hasil komitmen (semu) elite dan pemaksaaan oleh negara (solidity by force)/eksternal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Soliditas partai pada era Reformasi terjadi penghambatan antara lain; 1). Manuver elite politik yang menerabas aturan dan kepatutan, menimbulkan perlawanan. Manuver ini biasanya terkait dengan pengelolaan partai yang bersifat person beyond institution, 2). Perbedaan pendapat yang tidak terjembatani, tetutama dalam memaknai aturan main (alasan pemecatan, legitimasi pelaksanaan kongres/muktamar/musyawarah, dan sebaginya), 3). Tidak bekerjanya media arbitrase/resolusi konflik internal partai, 4). Kesetiaan ganda pada kelompok-kelompok atau patron, yang berakibat mudah membentuk kelompok atau kepengurusan ganda (lemahnya ideologisasi dan loyalitas pada idealisme partai (ditawari oleh jabatan/watak ingin berkuasa dan berkuasa itu nikmat, 5). Pola kepemimpinan yang tidak merangkul/tidak demokratis, prinsip: zero sum game, dan 6). Intervensi kepentingan unsur eksternal/penguasa/aktor politik.
Apa yang harus dilakukan Partai terkait Soliditas, yaitu Membangun ketaatan pada sistem atau aturan bukan individu dan partai, untuk mencegah manuver politik internal yang liar. Pelaksanaankaderisasi yang kontinum untuk menciptakan merit sistem (fairness). Pelembagaan konflik dengan membangun mekanisme dan badan resolusi konflik internal partai yang independen maupun melalui jalur kultural. Pengarusutamaan ideologi/visi dan misi partai, menghindari mudahnya pembajakan partai atas dasar pragmatisme. Kepemimpinan yang komunikatif, demokratis dan merangkul semua pihak/faksi (faksi sendiri adalah hal yang tidak terhindari, layaknya oligarki). Profesionalisme aparat pemerintahan dan netralitas negara.
Untuk membangun soliditas tidak hanya bergantung pada single factor. Penyebab terjadinya soliditas pada akhirnya merupakan negasi dari penyebab fragmentasi dan tidak ada jaminan bahwa sebuah partai akan bebas seutuhnya dari adanya fragmentasi. Tantangan soliditas kedepan akan terkait dengan: (1) watak rezim, (2) sistem pemerintahan/pemilu/partai, (3) kemandirian (keuangan) partai dan (4) memelihara demokrasi internal partai/menghindari personalized party/post-democracy party.
Selanjutnya dari aspek manajemen konflik, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Prof. Dr. Lili Romli, mengatakan yang dilakukan partai-partai cenderung ada kuarsit-kuarsit tidak secara persuasif. Ada konflik internal dengan tindakan melakukan pemecatan, dan dimana manajemen konflik dengan melakukan konsensus-konsensus. Disini terlihat terjadi krisis kepemimpinan atau soliditas pemimpin yang bisa mengayomi/mempersatukan unsur-unsur yang ada. Pentingnya sebuah partai menjaga soliditas atau kohesi partai, untuk menanamkan loyalitas anggota sehingga menimbulkan psikologis pada partai.
Soliditas atau kohesi partai, bahwa soliditas itu sesuatu yang urgen dan penting bukan hanya untuk partai tetapi juga untuk jalananya pemerintahan. Hal ini berdampak langsung pada pemerintahan dan akuntabilitas partai terhadap pemilih. Situasi konflik partai di era reformasi terlihat pada pola konflik internal partai ada kecenderungan melibatkan eksternal atau dukungan penguasa. Partai diharapkan mandiri independen, tetapi tidak percaya diri dengan mencari dukungan eksternal. Struktur partai di internal, dimana konflik internal partai tidak mencapai kesepakatan maka faksi-faksi yang menang menikmati dan yang kalah dibuang. Tidak heran pasca konflik di pengadilan dengan mendirikan partai politik. Dan seharusnya perlu adanya disiplin partai, partai tidak hanya memberikan sanksi tetapi juga promosi-promosi jabatan di partai (merit system) atau insentif-insentif positif di partai dalam rangka penegakan demokratis di internal partai.
Undang-Undang Pemilu adanya sentralisasi, ketika terjadi gejolak di pusat dengan mendapat dukungan dari daerah yang kecewa dengan sentralisasi untuk memberikan dukungan bagi yang mencoba untuk mendongkel partai. Dimana norma-norma AD/ART partai seharusnya perlu diatur oleh Undang-Undang Partai Politik. AD/ART gampang sekali di ubah, ada anggota baru yang mudahnya menjadi pengurus. Hal tersebut bisa saja dimasukan dalam undang-undang partai politik. Badan hukum yang mengesahkan saat ini Menkumham, seharusnya Menkumham hanya bersifat administratif dan kewenangan hanya ada pada KPU, untuk pengesahan partai politik. Banyaknya pengadilan untuk memutuskan konflik partai politik, diputuskan oleh MK atau Pengadilan Pemilu. Disana agar kementerian atau pengadilan yang partisan dan tidak berpihak. (Waw/Red)
Editor : Redaksi