Magelang (republikjatim.com) - Sosok kiai kharismatik, KH Chudlori lahir di Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng). KH Chudlori merupakan putra kedua dari 10 bersaudara pasangan suami istri Kiai Ikhsan dan Nyai Mujirah.
Ayahnya seorang pegawai (penghulu) yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman Kabupaten Magelang meliputi Kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Kecamatan Tegalrejo. Saat di zaman Belanda, penghulu dan keluarganya dihormati sebagai priyayi. Sedangkan Nyai Mujirah adalah putri Karto Diwiryo yang menjabat Lurah di Kali Tengah.
KH Chudlori wafat pada tanggal 28 Agustus 1977 silam. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam keluarga Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo Magelang.
KH Chudlori menikah dengan putri KH Dalhar Pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam Watucongol, Muntilan Magelang. KH Chudlori sempat mengajar di pesantren mertuanya. Namun mengajarkan ilmu agama di kampung halaman (kelahiran) menjadi cita-citanya yang menggebu - gebu sejak kecil. Bahkan KH Chudlori selalu melakukan mujahadah dan meminta petunjuk Allah SWT untuk menggapai cita-cita, keinginan dan niat besarnya itu.
KH Chudlori dikarunia 10 anak. Semua putranya adalah seorang kiai dan meneruskan perjuangan dakwahnya dengan merawat dan mengembangkan Pondok Pesantren (Ponpes) API Tegalrejo, di partai politik dan sebagian sebagai da’i.
KH Chudlori pada Tahun 1923 menyelesaikan pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Yakni lembaga pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) di zaman Belanda. Kemudian KH Chudlori kecil dikirim ayahnya ke Pesantren Payaman yang diasuh KH Siroj. KH Chudlori menghabiskan 2 tahun di pesantren itu. Selanjutnya pindah ke pesantren Kuripan di bawah asuhan KH Abdan. Tidak lama kemudian, KH Chudlori pindah lagi ke pesantren Kiai Rahmat di daerah Gragab hingga Tahun 1928.
Kehausan akan ilmu agama, mendorong KH Chudlori tidak lelah menimbah ilmu. Setelah itu, KH Chudlori menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pesantren ini waktu itu masih diasuh Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Di pesantren pendiri NU itu, KH Chudlori mempelajari berbagai macam kitab.
Ketika di Tebuireng, ayah KH Chudlori mengirim uang sebanyak Rp 750 per bulan. Akan tetapi hanya dihabiskan KH Chudlori sebesar Rp 150 per bulan. Sedangkan sisanya dikembalikan ke orangtunya. Dengan uang sebesar itu, KH Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong. Semua dilakukan, dalam rangka riyadhah dan amalan yang biasa dilakukan para santri.
Dikisahkan ketika di Tebuireng KH Chudlori pernah membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan ditempatkan kotak itu di antara loteng dan atap. Kotak itu ditaruh di dalam kamarnya. Kapan saja jika ingin menghafal atau memahami pelajarannya, KH Chudlori muda naik dan duduk di atas kotak itu. Bahkan bisa berkonsentrasi dengan baik.
Sebenarnya kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk dibuat duduk. Tapi dengan kedisiplinan yang baik, KH Chudlori dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, maka KH Chudlori menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa di hari berikutnya tanpa makan sahur.
Sejak Tahun 1933, KH Chudlori pindah lagi ke Pondok Bendo, Kecamatan Pare, Kediri dan menjadi santri Kiai Chozin Muhajir. Di tempat ini, KH Chudlori belajar Fiqih dan Tasawuf seperti Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Selanjutnya, empat tahun berikutnya, KH Chudlori melanjutkan belajar mengaji di Pesantren Sidayu, Gresik untuk belajar ilmu membaca Al Qur’an selama 7 bulan.
Pada Tahun 1937, KH Chudlori kembali nyantri ke Pondok Lasem, Jawa Tengah yang diasuh KH Ma'shum dan KH Baidlowi. Ketika sudah menguasai semua kitab yang diajarkan di Pondok Lasem, KH Chudlori sering diminta Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren ini, KH Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai muda berkharisma.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun tetap tinggal di sana, KH Chudlori tidak begitu banyak belajar kitab di Pondok Lasem. Saat itu, KH Chudlori lebih sering memilih untuk terus mengabdi pada kiai agar memperoleh karomah gurunya. Selain itu, memastikan di masa yang akan datang, segala hal yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH Chudlori sebagai seorang ulama yang juga berasal dari Desa/Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng). KH Chudlori mendirikan Pondok Pesantren ini awalnya tanpa memberikan nama selayaknya Pondok Pesantren lainnya. Kemudian setelah berkali-kali mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada Tahun 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API).
Nama ini ditentukan sendiri oleh KH Chudlori sebagai hasil dari Shalat Istikharoh. Lahirnya nama pesantren API mendorong KH Chudlori berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru. Terutama, mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.
Latar belakang berdirinya Pesantren API adalah adanya semangat jihad Li'ilai Kalimatillah yang mengkristal dalam jiwa KH Chudlori. Selain itu, juga dipengaruhi kondisi masyarakat Tegalrejo yang saat itu masih banyak bergumul dengan perbuatan - perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respons masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren API Tegalrejo waktu itu sangat memprihatinkan. Karena saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif hingga mengakibatkan berhentinya kegiatan ta'lim wa ta'allum (kegiatan belajar - mengajar).
Sebagai seorang ulama yang digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang. Kurikulum kajian keagamaan yang diajarkan di Pesantren Tegalrejo membutuhkan waktu 7 tahun.
Ajaran dan amalan-amalan tasawuf dulu yang sampai sekarang menjadi bagian inti kurikulum. Bahkan KH Chudlori menyebut tingkat yang paling tinggi (tingkat tujuh) dengan Ihya', meminjam judul kitab tasawuf terkenal, Ihya' Ulumuddin. Karena amalan - amalan tasawuf mewarnai kehidupan sehari-hari Pesantren Tegalrejo, maka pesantren ini terkenal sebagai pesantren tasawuf.
Ketika awal merintis pesantren, berkat ketegaran dan keuletan KH Chudlori, baik secara dhohir maupun batin, akhirnya berhasil mewujudkan Pondok Pesantren API menjadi pesantren yang diminati banyak masyarakat. Santri yang awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar ratusan dan sekarang pun ketika kepemimpinan dilanjutkan anak-anaknya, semakin banyak santri yang datang belajar di pesantren itu. Bahkan jumlah santrinya mencapai belasan ribu santri.
Mbah KH Chudlori adalah ulama yang sangat masyhur asal Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Perjuangan dan dakwah KH Chudlori hingga kini terus lestari. Ribuan santri yang menuntut ilmu di Pesantren API datang dari berbagai pelosok negeri hingga kini. Spirit dakwah dan perjuangan santri dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini wujud tak lekang atas tantangan zaman. Para santrinya setia dan gigih melanjutkan misi suci, li’ilali kalimatillah dalam berbagai bidang.
Strategi dakwah KH Chudlori mendirikan pondok pesantren API Tegalrejo sebagai media untuk mengumpulkan masyarakat. Tujuannya agar lebih mudah menyampaikan ilmu dan ajaran agama Islam. Termasuk mujahadah dan bimbingan mental mengisi sepiritual para santri dan masyarakat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, KH Chudlori juga menggelar Majlis Seninan bertujuan untuk memberikan ilmu agama kepada masyarakat yang beridiologi Islam abangan. Serta menggelar Majlis Muqimin untuk memberikan forum para alumni pesantren agar lebih mudah dalam berkomunikasi sesama alumni dan mendirikan P4SK untuk mengakomodir dan berbagi pengalaman para pengasuh pondok pesantren dalam mengembangkan anak didiknya.
Implementasi strategi dakwah KH Chudlori di masyarakat Magelang semua menghasilkan dampak sangat positif. Diantaranya santri yang semakin banyak, masyarakat sekitar yang mulai meninggalkan kesyirikan dan menjalankan perintah agama dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, para pengasuh pondok pesantren mempunyai kurikulum yang tepat dan cara mengajar yang lebih efektif serta alumni yang mendirikan pondok pesantren bisa bertukar pengalaman dan pengetahuan untuk memajukan pondok pesantren dan masyarakat di tempat tinggalnya masing-masing. Hel/Waw
Editor : Redaksi