Pemotongan Insentif Pajak di BPPD Sidoarjo Capai Rp 600 Juta Per 3 Bulan, Rp 300 Juta Disetorkan Oknum APH


Pemotongan Insentif Pajak di BPPD Sidoarjo Capai Rp 600 Juta Per 3 Bulan, Rp 300 Juta Disetorkan Oknum APH SAKSI - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mencecar sejumlah pertanyaan untuk saksi dari tiga pejabat di lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo saat sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor di Juanda, Sidoarjo, Senin (08/07/2024).

Sidoarjo (republikjatim.com) - Sidang lanjutkan pemeriksaan para saksi terdakwa pemotongan insentif pajak di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Pemkab Sidoarjo berlanjut di ruang Sidang Cakra, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya di JL Raya Juanda, Sidoarjo, Senin (08/07/2024). Dalam kasus pemeriksaan para saksi untuk terdakwa Siska Wati mantan Kasubag Umum BPPD Pemkab Sidoarjo yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan tiga orang saksi.

Ketiga saksi itu, diantaranya Hadi Yusuf mantan Sekretaris BPPD, Sulistyono Sekretaris BPPD dan Rahma Fitri Kristiani mantan Kasubag Umum. Saat ini, ketiganya masih aktif menjabat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan BPPD Pemkab Sidoarjo.

Meski dicerca banyak pertanyaan oleh tim JPU KPK, ketiga saksi secara lugas menceritakan soal alur pemotongan hingga proses pemanfaatan uang yang terkumpul dari pemotongan insentif pajak para PNS dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan BPPD Pemkab Sidoarjo itu. Diantaranya disebutkan para saksi dalam sekali pemotongan insentif pajak bisa mencapai Rp 500 sampai Rp 600 juta per triwulan. Bahkan dana yang terkumpul itu juga dimanfaatkan tidak hanya untuk kepentingan kantor akan tetapi juga diberikan sekitar Rp 300 juta untuk Aparat Penegak Hukum (APH). Salah satunya diberikan ke oknum jaksa yang nama dan jabatannya disebutkan dengan jelas oleh para saksi dalam sidang pemeriksaan saksi yang dipimpin Ni Putu Sri Indayani itu.

Saksi Sekretaris BPPD Pemkab Sidoarjo, Sulistyono mengatakan jika pemotongan dana insentif itu sudah berjalan lama. Pemotongan dilakukan setiap tiga bulan sekali. Sulistyono mengaku insentifnya dipotong Rp 3 juta setiap bulan. Hal ini karena perolehan insentifnya mencapai di atas Rp 10 juta.

"Makanya saya kena potongan Rp 3 juta per bulan," ujar Sulistyono di depan tim majelis hakim, tim JPU KPK dan Erlan Jaya Putra, Penasehat Hukum terdakwa Siska Wati.

Selain itu, Sulistyono secara gamblang menyebutkan mantan Kepala BPPD Pemkab Sidoarjo, Ari Suryono pernah meminta uang sebesar Rp 100 juta. Alasannya, saat itu uang akan segera diberikan kepada oknum kejaksaan (jaksa). Kesaksian itu disampaikan Sulistiyono saat dicerca pertanyaan oleh Erlan Jaya Putra tim penasehat hukum terdakwa, Siska Wati.

"Permintaan itu disampaikan Pak Kaban (Ari Suryono) sekitar Desember 2023 saat apel pagi. Saat itu, Pak Kaban meminta seluruh Kabid untuk segera mengumpulkan uang sebesar Rp 100 juta. Uang itu diminta besoknya karena harus untuk diserahkan kepada Kejaksaan," ungkap saksi Sulistyono.

Karena ada permintaan itu, kemudian saksi Sulistyo dan para Kabid yang ada, urunan sebesar Rp 25 jutaan per orang sehingga terkumpul uang senilai Rp 100 juta. Kemudian setelah adanya OTT juga ada penyetoran lagi senilai Rp 200 juta untuk oknum jaksa itu. Bahkan Sulistyono mengaku adanya pemotongan itu sejak menjabat Sekretaris BPPD dengan sebutan Shodaqoh.

"Uang yang terkumpul Rp 100 juta hasil urunan uang pribadi saya Rp 25 juta dan para Kabid lainnya masing -masing Rp 25 juta. Setelah terkumpul Rp 100 juta uang itu diserahkan dibawa ke Pak Rendro (staf BPPD). Karena Pak Rendro yang selalu berhubungan dengan orang-orang di Kejaksaan. soal uang yang terkumpul itu diberikan kepada oknum kejaksaan atau tidak, Sulistyono tidak mengetahui secara pasti," paparnya.

Hal yang sama disampaikan saksi lainnya Hadi Yusuf dan Rahma Fitri Kristiani. Saksi Rahma menyebutkan setoran pemotongan insentif pajak itu mencapai Rp 500 sampai Rp 600 juta. Uang ratusan juta itu terkumpul setiap tiga bulan sekali atau triwulanan.

"Dari Rp 500 juta sampai Rp 600 juta itu Rp 100 juta untuk operasional kantor sisanya sekitar Rp 500 jutaan dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya. Termasuk untuk pengamanan APH (oknum jaksa) itu," urainya.

Sedangkan saksi Yusuf Hadi yang dicerca pertanyaan soal presentase besaran potongan setiap pegawai, dan bersifat wajib itu mengakui sudah diterapkan sejak lama di BPPD Pemkab Sidoarjo. Hadi Yusuf mengaku awalnya kaget atas pemotongan yang diterapkan di BPPD, tetapi selanjutnya merasa terbiasa.

"Karena sudah kesepakatan soal pemotongan itu, saya lama-lama ikhlas dengan potongan itu," jelas saksi Yusuf Hadi.

Sementara Penasehat Hukum terdakwa Siska Wati, Erlan Jaya Putra merasa menyesal tim penyidik KPK hanya menetapkan kliennya yang eselon IV ditetapkan menjadi terdakwa dan ditahan. Sementara aliran dana yang mengalir ke oknum jaksa tidak diusut tuntas.

"Klien kami (Siska Wati) ini hanya korban. Dia pegawai biasa yang tugasnya mengiyakan perintah atasannya. Harusnya tim penyidik KPK juga mengusut semua aliran dana itu kemana saja. Karena ada yang disetorkan ke oknum jaksa itu bukan opini lagi tapi fakta persidangan yang juga ada di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para saksi. Untuk keadilan dan kesamaan semua di mata hukum harusnya itu juga diusut tuntas KPK," pintanya.

Sementara salah satu JPU KPK, Andre Lesmana mengakui pihaknya fokus pada nilai potongan insentif pajak yang totalnya mencapai Rp 7 sampai Rp 8 miliar. Pihaknya belum mengusut uang ratusan juta untuk oknum APH atau jaksa sesuai keterangan saksi lantaran ada yang uang urunan para Kepala Bidang (Kabid) dan Sekretaris Badan (Sekban) senilai Rp 100 juta sebagai uang pribadi.

"Kami fokus soal pemotongan insentif pajak yang nilainya mencapai Rp 8 miliar itu. Soal aliran ke APH itu perkara lain karena sebagian merupakan uang urunan dan uang pribadi para Kabid dan Sekban BPPD Pemkab Sidoarjo," tandasnya usai persidangan. Hel/Waw