Oleh
Muh Zakaria Dimas Pratama
Ketua Fraksi Demokrat - Nasdem DPRD Kabupaten Sidoarjo
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia jatuh setiap tanggal 5 Juni. Peringatan itu, diramaikan dengan adanya protes besar - besaran mengenai eksploitasi tambang nikel di salah satu surga pariwisata Indonesia, yakni Kepulauan Raja Ampat.
Di luar layar berkembang, sebenarnya masih banyak isu lingkungan hidup yang perlu kita ulik bersama. Kita tentu bersepakat bahwa eksistensi lingkungan hidup menjadi prasyarat
mutlak dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development framework). Jika berhasil menjaga lingkungan maka akan lestari dan sebaliknya jika tidak maka bencana akan menanti.
Sumber kerusakan lingkungan tidak hanya berasal dari eksploitasi tambang saja. Ada yang memang karena faktor evolusi alam itu sendiri seperti tsunami, gunung meletus, gempa bumi dan lain-lainnya. Ada pula, yang terkait campur tangan manusia seperti penebangan liar, limbah, sampah, polusi udara, pemanasan global dan lain-lainnya. Apalagi kenaikan aktivitas sosial dan ekonomi justru kerap meningkatkan resistensi terhadap lingkungan.
Parameter yang paling umum digunakan untuk mengukur pembangunan lingkungan
hidup adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). IKLH Nasional dalam 5 tahun terakhir
tercatat terus mengalami kenaikan dari 70,27 poin pada Tahun 2020 menjadi 73,53 poin pada Tahun 2024.
Namun, progres positif ini ternyata tidak selalu linier dengan jumlah kejadian bencana alam.
Sebagai contoh. Ketika IKLH meningkat pada Tahun 2021, jumlah kejadian bencana justru turut meningkat dari 4.650 kejadian pada Tahun 2020 menjadi 5.402 kejadian. Selanjutnya turun menjadi 3.544 kejadian dan
kembali meningkat pada Tahun 2023 menjadi 5.400 kejadian (BNPB, 2025).
Jika IKLH yang progresif saja tidak selalu menjamin penurunan bencana alam. Apalagi, bagi daerah yang IKLH-nya pasang surut seperti Kabupaten Sidoarjo yang merupakan wilayah kerja penulis. Pada saat IKLH Nasional dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2024 mengalami kenaikan,
IKLH Sidoarjo justru mengalami penurunan dari 58,99 poin menjadi 53,35 poin (KLH, 2025).
Jumlah bencana alam pun turut mengalami kenaikan. Dari sebelumnya hanya 7 kejadian pada Tahun 2023 melonjak tajam menjadi 110 kejadian pada Tahun 2024. Mayoritas jenis bencana yang terjadi adalah angin kencang (puting beliung) dan banjir (BPBD Jatim, 2025).
Berdasarkan Kajian Risiko Bencana Nasional Provinsi Jawa Timur 2022–2026 (BNPB, 2021), potensi tertinggi bahaya bencana alam di Sidoarjo adalah banjir, banjir bandang dan cuaca ekstrem. Potensi kerugian akibat bencana baik secara fisik maupun ekonomi relatif
bervariasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banjir dapat menyebabkan kerugian agregat hingga Rp 12,6 triliun. Sementara banjir bandang senilai Rp 178,75 miliar. Adapun cuaca ekstrem dapat merugikan hingga Rp 22,43 triliun.
Bisa kita bayangkan berapa banyak potential loss yang harus kita tanggung akibat terjadinya bencana alam di daerah. Uang yang semestinya kita putar sebagai modal pertumbuhan ekonomi harus di-restart untuk melakukan recovery.
Politik Lingkungan
Kesadaran bersama itu penting. Karena sering kali hulu permasalahan bencana berasal dari kelalaian kita dalam menjaga lingkungan. Sebagai contoh terkait pengelolaan sampah. Kita tentu sadar bahwa sampah dapat menyebabkan berbagai permasalahan baik dari sisi kesehatan, ekonomi maupun lingkungan.
Di Sidoarjo, sampah yang ditimbulkan berdasarkan data SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup mencapai 313,4 ribu ton pada Tahun 2024. Namun sampah
yang terkelola di tempat pengelolaan sampah baru 64,13 persen. Selain itu, sampah yang didaur ulang pun baru 5,03 persen.
Dalam pandangan penulis, penanganan lingkungan adalah tanggung jawab bersama dan dapat diupayakan melalui kolaborasi dan komitmen antarpihak. Sebagai contoh, Pemerintah
berperan sebagai regulator dan fasilitator. Kewenangannya secara politik dapat memengaruhi
apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan serta menggunakan kuasa anggarannya untuk memfasilitasi partisipasi publik. Masyarakat baik secara individu maupun komunitas, dapat berperan sebagai aktor dan katalisator untuk membangun kesadaran dan partisipasi dalam
menjaga lingkungan. Bahkan di beberapa daerah sudah muncul industri pengelolaan dan pengolahan sampah.
Jadi ada kolaborasi dan pertukaran manfaat antara pemerintah dan
masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan yang berkesinambungan.
Bencana alam hanya puncak gunung es dari sekian faktor penyebabnya.
Di luar hal-hal yang bersifat force majeure (kejadian luar biasa), kita bisa melakukan mitigasi pada aspek-aspek yang mampu diintervensi manusia (act of volition). Yakni melalui aspek hukum dan kebijakan serta perilaku sehari-hari.
Setidaknya, jangan sampai bencana hadir karena ulah dan kecerobohan kita sendiri.
Untuk itu, peringatan hari lingkungan seyogyanya tidak hanya menjadi seremonial belaka, tidak
hanya numpang "fomo" saja. Akan tetapi, mari kita jadikan ajang refleksi : Sudahkah kita mampu menjaga bumi dan lingkungan untuk diwariskan kepada anak-cucu kita nanti?
Editor : Redaksi