Home / Profile : Jejak Nusantara

Sempat Jadi Gelandangan dan Petapa Selama Pelarian, Ini Asal Usul Raja Jawa Airlangga

author republikjatim.com

republikjatim.com

Kamis, 26 Des 2024 08:30 WIB

Sempat Jadi Gelandangan dan Petapa Selama Pelarian, Ini Asal Usul Raja Jawa Airlangga

i

Candi Kedaton adalah Candi Kedaton Niman (baju biru) menunjukkan beberapa arca candi.

Sidoarjo (republikjatim.com) - Nama
Airlangga dikenal sebagai raja dari Kerajaan Medang Kemulan pertama. Sebelum menjadi raja, Airlangga pernah menggelandang bertahun-tahun. Hal ini, karena Airlangga sempat sebagai pelarian (buronan kerajaan lain). Meskipun demikian, pada akhirnya Airlangga sukses menjadi seorang Raja Jawa yang namanya kesohor hingga saat ini.

Buktinya, hingga saat ini nama Raja Airlangga masih dikenang di dalam ingatan masyarakat Jawa dan di berbagai cerita rakyat maupun literatur sejarah. Bahkan sering diabadikan namanya di berbagai tempat di Indonesia.

Airlangga bermakna air yang melompat. Dikisahkan Airlangga berhasil lolos dari peristiwa Mahapralaya (bencana besar) yang dianggap bagai air bah. Sehingga Airlangga juga mendapat julukan bermakna sebagai air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang.

Waktu itu, Kerajaan Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat. Bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat hingga ekspansi dengan melakukan serangan hingga ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik. Yakni Marakata Pangkaja (menjadi Raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari raja Mpu Sindok dari wangsa Isyana yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari bumi Mataram di Jawa Tengah ke Jawa Timur yang kerap disebut Kerajaan Medang periode di Jawa Timur.

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara ibunya Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang Kamulan (sekarang sekitar Maospati, Kabupaten Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (diperkirakan sekarang adalah sekitar Ngloram, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah) yang merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya. Lwaram yang mendapat dukungan kuat dari wangsa Syailendra untuk memberontak.

Kejadian itu, tercatat dalam prasasti Pucangan (Calcutta Stone). Yang dianggap sebagai bencana Mahapralaya layaknya air bah yang mematikan, pembacaan atas prasasti itu juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan itu terjadi Tahun 938 Saka atau sekitar Tahun 1016 Masehi.

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh dan seluruh kerabat raja tewas. Bahkan Istana Wwatan (Kerajaan Medang Kamulan) turut dibakar. Sedangkan Airlangga yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa berhasil lolos dari maut ke hutan pegunungan Vana Giri (sekarang Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama.

ADVERTISEMENT

republikjatim.com vertical

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat itu, Airlangga masih berusia 26 tahun. Dia mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta senopati yang masih setia. Mereka menyampaikan permintaan agar Airlangga mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan Kerajaan Medang. Atas dukungan dari para pendeta dari ketiga aliran (Hindu, Buddha dan Mahabrahmana), Airlangga kemudian membangun kembali sisa-sisa Kerajaan Medang yang istananya telah hancur.

Mengingat Kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di Lereng Gunung Penanggungan. Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa Wotan Mas Jedong) di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto.

Ketika Airlangga naik takhta, wilayah kerajaannya hanya meliputi wilayah Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan saja. Karena sepeninggal raja Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.

Kemudian Tahun 1025, Kedatuan Sriwijaya di Sumatra yang merupakan musuh besar dari wangsa Isyana dikalahkan oleh Rajendra Coladewa raja dari Colamandala Kerajaan Chola, India. Hal ini menjadi sebuah kesempatan dan membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa kembali. Ary/Waw

Editor : Redaksi

republikjatim.com horizontal