Optimalkan Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan Untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi WBP Terorisme


Optimalkan Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan Untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi WBP Terorisme OPTIMALKAN - Kadiv Pemasyarakatan Teguh Wibowo mengoptimalkan kegiatan Pelatihan Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial Bagi Mantan Pelaku Tindak Pidana Terorisme, Selasa (15/03/2022).

Surabaya (republikjatim.com) - Bimbingan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Terorisme memerlukan sinergi dan kolaborasi berbagai pihak. Kanwil Kemenkumham Jatim selama ini menjadi motor penggerak pembinaan di Lapas dan Rutan.

Untuk melengkapi proses pendampingan kepada WBP kasus teroris, instansi yang dipimpin Wisnu Nugroho Dewanto itu mengoptimalkan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi.

Hal itu ditegaskan Kadiv Pemasyarakatan Kemenkumham Jatim, Teguh Wibowo dalam kegiatan Pelatihan Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial Bagi Mantan Pelaku Tindak Pidana Terorisme, Selasa (15/03/2022). Teguh menjelaskan WBP teroris jika bersedia kembali menjadi bagian dari NKRI dan mengikuti program deradikalisasi, maka WBP berhak mengajukan usul program reintegrasi.

"Baik itu program asimilasi maupun program pembebasan bersyarat. Itu sesuai dengan syarat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga otomatis klien pemasyarakatan akan menjadi bagian dari Balai Pemasyarakatan," ujarnya.

PK kata Teguh bakal melaksanakan pembimbingan dan pengawasan dalam menjalankan program reintegrasi di masyarakat. Karena selama ini, kata Teguh, tidak mudah bagi seorang klien yang berlatarbelakang mantan WBP terorisme untuk bisa kembali ke tempat tinggal sebelumnya.

"Nah, peran PK dalam membimbing dan mengawasi menjadi sangat penting," tegasnya.

Untuk itu, Teguh menilai perlu adanya perubahan manajemen. Yaitu dengan pola kerjasama antar stakeholder yang berkesinambungan. Peran Bapas dituntut lebih kuat dalam menjalankan program reintegrasi bagi WBP kasus teroris.

"Salah satu langkah untuk memperkuat peran bapas adalah dengan dibentuknya kerjasama dan kolaborasi dengan United Nations on Drugs and Crime (UNODC). Kerjasama dan kolaborasi ini sangat penting mengingat banyaknya narapidana kasus terorisme di Indonesia," paparnya.

Diharapkan dengan adanya pelaksanaan pelatihan-pelatihan antara Ditjen Pemasyarakatan dan UNODC, dapat lebih melakukan kajian-kajian soal penanganan narapidana terorisme melalui pendekatan proses disengagement.

"Diperlukan alat ukur assesment yang jelas. Supaya penanganan yang diambil tepat sasaran dan memiliki nilai manfaat bagi WBP. Baik selama di dalam Lapas, saat menjelang kembali ke masyarakat maupun saat menjalani pengawasan kembali ke masyarakat," urainya.

Sementara kata Teguh hasil dari pembinaan terhadap WBP teroris ketidakmampuan meneruskan nilai-nilai yang diyakini. Selain itu, melemahkan partisipasi kelompok serta hilangnya dukungan komunitas. Hingga menurunnya tingkat risiko radikalisme dan residivisme serta napiter lebih siap dalam proses reintegrasi sosial.

"Saat ini, total WBP teroris berjumlah hingga Februari 2022 sejumlah 456 orang masih berada di lapas di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 41 orang diantaranya berada di Lapas dan Rutan di Jatim," tandasnya. Kem/Hel/Waw