Mbah KH Dalhar Watucongol Magelang Lahirkan Murid Sebagai Ulama Besar dan Memiliki Santri Puluhan Ribu


Mbah KH Dalhar Watucongol Magelang Lahirkan Murid Sebagai Ulama Besar dan Memiliki Santri Puluhan Ribu Foto KH Dalhar

Magelang (republikjatim.com) - Sosok kiai kharismatik KH Dalhar lahir pada 10 Syawal 1286 H atau 12 Januari 1870 di kawasan Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Nasab Kiai Dalhar tersambung sampai trah Raja Mataram, Amangkurat III. Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.

Semasa perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Pangeran Dipanegara berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu Panglima Perang Dipanegara yang bertugas membantu Laskar pada Perang Jawa. Berdasarkan silsilahnya Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III (yang memerintah 1703 - 1705) atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.

Saat itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan Keraton serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama Desa Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan Tuqo. Ketika Perang Jawa (1825 - 1830) meletus, Pangeran Dipanegara dibantu barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Diantaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur Melangi serta Kiai Abdurrauf.

Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf ini yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara yang menjaga kawasan Magelang. Sekitar awal abad 19, kawasan Magelang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik. Karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran.

Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga wilayah Magelang serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara di kawasan itu. Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Pangeran Dipanegara itu, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan. Yakni di Dusun Tempur, Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar.

Dusun Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf. Sedangkan KH Dalhar wafat hari Rabu Pon 29 Ramadhan 1890 Jumadil Akhir (1378 Hijriyah) atau bertepatan 8 April 1959 Masehi. Selain itu, ada juga yang menyebutkan beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Lokasi makam KH Dalhar Watucongol berada di kompleks makam Kiai Raden Santri yang terletak di sisi barat kota Muntilan itu.

Di kompleks di atas Gunungpring setinggi 500 dpl itu juga berjajar makam. Diantaranya Kiai Raden Santri, KH Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo, KH Dalhar Watucongol, Kiai Krapyak Kamaluddin, KH Harun, Nyai Harun, Kiai Abdul Sajad, Gus Jogorekso, Nyai Suratinah Jogorekso, KH Qowaid Abdulloh S, Kiai Kertonjani dan KH Chusain.

Makam KH Dalhar

Pendidikan yang ditempuh KH Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, KH Dalhar haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada usia 13 tahun, Nahrowi (KH Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Magelang.

Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun. Setelah itu, KH Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di Pesantren Sumolangu, di bawah asuhan Syekh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani yang dikenal sebagai Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani. Ketika mengaji di Pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem sang Syaikh selama delapan tahun. Hal ini, menjadi permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.

Kemudian pada Tahun 1314 Hijriyah atau Tahun 1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar menemani putranya yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini diterima Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani yang merupakan kerabat dari Syaikh Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi'iyyah Makkah.

Di rubath kawasan Misfalah, Kiai Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama mengaji di Makkah. Tahun pertama Kiai Dalhar mengaji di Makkah, terjadi peristiwa penyerangan Hijaz oleh tentara Sekutu. Tanah Hijaz yang masuk dalam kuasa Turki Utsmani diserang tentara sekutu. Syekh Muhammad al-Jilani mendapat tugas untuk berjuang membantu perlawanan tanah Hijaz, setelah 3 bulan mengaji. Sedangkan, Kiai Dalhar beruntung dapat terus mengaji selama 25 tahun di tanah suci.

Di tanah Hijaz, nama Kiai Dalhar menemukan sejarahnya. Yakni pemberian dari Syaikh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, hingga tersemat nama Nahrowi Dalhar. Kiai Dalhar memperoleh ijazah mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani.

Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama 'alim sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah thariqah syadziliyyah kepada 3 orang muridnya. Yakni Kiai Iskandar Salatiga, Kiai Dhimyati Banten dan Kiai Ahmad Abdul Haq.

Daftar para alim ulama yang dimakamkan di Gunungpring, Magelang

Ketika mengaji di Makkah, secara istiqomah Kiai Dalhar tidak pernah buang hadats di tanah suci. Ketika ingin berhadats, Kiai Dalhar memilih pergi di luar tanah Suci sebagai bentuk penghormatan. Inilah bentuk ta'dzim sekaligus sikap istiqomah Kiai Dalhar yang telah teruji.

Kiai Dalhar dikenal menulis beberapa kitab. Diantaranya Kitab Tanwir al-Ma'ani, Manaqib Syaikh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani dan Imam Tariqah Saydziliyyah. Kiai Dalhar juga menjadi rujukan beberapa kiai yang kemudian menjadi pengasuh pesantren - pesantren besar dan ternama. Diantara murid Kiai Dalhar yakni Kiai Ma'shum(Lasem), Kiai Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), Kiai Marzuki Giriloyo serta Gus Miek (Kediri). Gus Miek juga dikenal dekat dengan Kiai Dalhar. Bahkan Gus Miek bisa membina hubungan dengan Mbah Jogoroso, Kiai Ashari, Gus Mad putra Kiai Dalhar, Kiai Mansyur dan Kiai Arwani.

Kemudian, mata rantai berlanjut dari Kiai Ashari, Gus Miek membina hubungan dengan Kiai Abdurrahman bin Hasyim (Mbah Benu) dan Kiai Hamid Kajoran. Dari Kiai Hamid Kajoran, Gus Miek berinteraksi dengan Mbah Juneid, Mbah Mangli dan Mbah Muslih Mranggen. Sosok Gus Miek memang sudah nyentrik sejak masa kecilnya. KH Djazuli Utsman, sang ayah yang dikenal sangat ketat dalam mengaji, harus memilih cara berbeda mendidiknya dibandingkan dengan anak-anaknya yang lain.

Ibu Nyai Rodliyah, sang ibu juga sudah menengarahi ada keistimewaan Gus Miek sejak di masa kandungan. Kiai Djazuli tetap selalu konsisten untuk mendidik Gus Miek dalam mencari ilmu agama. Gus Miek kemudian dikirim ke Pesantren Lirboyo Kediri. Di tengah - tengah pendidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Magelang, Jawa Tengah.

KH Dalhar adalah seorang diantara tiga wali yang termasyhur di Jawa Tengah. Ketiga wali itu adalah KH Hamid, Kajoran, Magelang sebagai wali dakwah dan KH Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH Dalhar wafat pada 1959 menurut sebagian pendapat, posisinya digantikan KH Mangli, Kecamatan Muntilan, Magelang. Kemudian KH Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja. Gus Miek berulang kali juga meminta berbagai ijazah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Gus Miek seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada KH Dalhar. Terutama dalam hal kepasitas KH Dalhar sebagai seorang wali, mursyid tarekat dan pengajar Al Qur’an.

Gus Miek juga seolah ingin mempelajari cara seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid dan seorang pengajar Al Qur’an.

Saat pulang dari tanah suci Makkah, sekitar tahun 1900 Masehi, KH Dalhar kemudian meneruskan pondok kecil peninggalan nenek moyangnya di kaki bukit kecil Gunungpring, Watucongol, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Lokasinya kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni santri - santri sekitar eks Karasidenan Kedu saja. Namun sampai pelosok tanah Jawa.

Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asmahizib dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang.

Makam Kiai Raden Santri

Sementara murid - murid KH Dalhar mampu melahirkan tokoh-tokoh dan kiai kharismatik. Banyak sekali tokoh - tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada KH Dalhar sejak sekitar Tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Ma'shum (Lasem), KH Mahrus Aly (Lirboyo), Abuya Dhimyati (Banten), KH Marzuki Giriloyo, Gus Miek dan lain - lainnya.

Sedangkan perjuangan kebangsaan saat era perjuangan melawan rezim kolonial, peran Kiai Dalhar tidak bisa dilupakan. Para pejuang di kawasan Magelang, Yogyakarta, Banyumas dan kawasan Bagelen-Kedu datang ke pesantren Kiai Dalhar untuk meminta doa. Oleh Kiai Dalhar, para pejuang diberi asma', doa dan ijazah kekebalan serta diberi bambu runcing yang diberi doa. Dikisahkan, ketika para pejuang menggempur Belanda di kawasan Benteng Ambarawa, dimudahkan oleh Allah SWT dengan semangat dan kekuatan.

Dorongan doa dan semangat yang diberikan Kiai Dalhar serta beberapa kiai lainnya, menambah daya juang para santri untuk bertempur mengawal kemerdekaan. Pertempuran laskar santri dan pemuda melawan tentara sekutu, meletus pada 21 November 1945. Atas desakan laskar dan tentara rakyat, yang dikomando Jendral Soedirman, tentara sekutu mundur ke Semarang. Namun, mundurnya sekutu juga membuat ribut di Ambarawa, yang kemudian disebut Palagan Ambarawa.

Pada perang ini, Laskar Hizbullah dari Yogyakarta dan kawasan sekitar bersatu dengan beberapa tentara rakyat mengepung Ambarawa. Laskar Hizbullah Yogyakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, tepatnya di kawasan Jambu dan Banyubiru. Front Ambarawa dikepung dari beberapa penjuru. Kawasan Selatan dikepung pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga. Utara ditempati pasukan Kedu dan Ambarawa. Dari sisi timur hadir pasukan Divisi IV BKR Salatiga. Pihak Belanda dan tentara Sekutu bermarkas di Kompleks Gereja Margo Agung serta pos militer di perkebunan.

Laskar santri di bawah komando Bachron Edress berhasil mengakses front Ambarawa. Laskar-laskar santri dan pemuda yang bertempur di Ambarawa, sebagian besar sowan ke Kiai Dalhar Watucongol dan Kiai Subchi Parakan untuk minta doa sebelum bergerilya. Terdapat sejumlah karya dari KH Dalhar. Karena KH Dalhar dikenal menulis beberapa kitab. Diantaranya Kitab Tanwir al-Ma'ani, Manaqib Syaikh as-Sayyid Abdul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar as-Syadzili al-Hasani, Imam Tariqah Saydziliyyah.

Karya KH Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Namun beberapa diantaranya masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya KH Dalhar setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab itu di Tremas. Pada saat itu belum muncul tashrifan ala Jombang.

Sementara KH Dalhar adalah ulama besar dan mursid populer di Magelang dan sekitarnya. KH Dalhar adalah seorang diantara tiga wali yang termasyhur di Jawa Tengah. Ketiga wali itu KH Hamid, Kajoran, Magelang sebagai wali dakwah dan KH Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat posisinya digantikan KH Mangli, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Hel/Waw