Gus Muhdlor Salat Idul Adha di MAS Bersama Ribuan Jamah, Khatib Pesan Pentingnya Kesalehan Individual dan Sosial


Gus Muhdlor Salat Idul Adha di MAS Bersama Ribuan Jamah, Khatib Pesan Pentingnya Kesalehan Individual dan Sosial IDUL ADHA - Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali mengikuti Salat Idul Adha 1444 Hijriyah di Masjid Agung Sidoarjo (MAS) di sebrang alun-alun dari Rumdin Pendopo Delta Wibawa, Kamis (29/06/2023).

Sidoarjo (republikjatim.com) - Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali beserta istri Ny Sa'adah Ahmad Muhdlor melaksanakan Salat Idul Adha 1444 Hijriyah di Masjid Agung Sidoarjo (MAS). Bupati muda yang akrab disapa Gus Muhdlor ini mengenakan jas hitam lengkap dengan peci keluar dari Rumah Dinas (Rumdin) Pendopo Delta Wibawa pukul 06.00 WIB, Kamis (29/06/2023).

Gus Muhdlor jalan bareng bersama Khatib Salat Idul Adha Prof Dr KH Ali Maschan Moesa yang tak lain adalah guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya. Tampak ikut jalan bersama diantaranya Dandim 0816 Letkol Inf Guntung Dwi Prasetyo, Wakil Ketua DPRD Emir Firdaus dan sejumlah pejabat teras di lingkungan Pemkab Sidoarjo.

Putra KH Agoes Ali Masyhuri Pengasuh Ponpes Progresif Bumi Shalawat Lebo ini memasuki halaman MAS diikuti para jamaah. Gus Muhdlor kemudian naik eskalator menuju tempat shalat di lantai dua MAS. Sekitar pukul 06.30 WIB, Salat Idul Adha dimulai sesuai dengan jadwal.

Ribuan jamaah memadati MAS yang memiliki kapasitas tidak kurang dari 4000 jamaah itu. Mulai dari lantai satu sampai lantai tiga dipenuhi jamaah hingga meluber sampai halaman depan Masjid hingga di Alun-Alun Sidoarjo.

Khatib sholat Idul Adha KH Ali Maschan Moesa dalam ceramahnya menyampaikan pentingnya menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Peringatan Idul Adha adalah salah satu bentuk kongkrit ibadah individual dan kesalehan sosial.

"Kesalehan sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami dan yang bersifat sosial," ujarnya.

Lebih lanjut Ali Maschan Moesa membeberkan bentuk kongkrit kesalehan sosial. Diantaranya, bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain dan mampu berempati. Kesalehan sosial juga bisa diukur bagaimana seseorang mampu merasakan yang dirasakan orang lain.

"Kesalehan sosial adalah suatu bentuk kesalehan yang tidak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa dan haji saja. Melainkan juga ditandai seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai dan tentram berinteraksi serta bekerjasama dan bergaul dengannya," ungkapnya.

Selain itu, KH Ali Maschan Moesa menegaskan agama mengajarkan 'Udkhuluu fis silmi kaffah'. Kesalehan dalam Islam mestilah secara total. Yakni saleh secara individual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang Islami.

"Harapannya memiliki dampak positif terhadap kehidupan sosial atau hubungan sesama manusia," tegas mantan anggota DPR RI ini.

Guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu menceritakan dalam sebuah haditz dikisahkan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin salat di malam hari dan puasa di siang hari. Akan tetapi, lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi.

"Hadis ini memperlihatkan kepada kita ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial," jelasnya.

KH Ali Maschan Moesa yang pernah menjabat Ketua PWNU Jawa Timur periode 1999 - 2008 itu menegaskan dalam haditz lain diceritakan seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, "Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, "Soalnya, setiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan setiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa". 

"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Nabi lagi. "Kakaknya," sahut sahabat itu. Lalu kata Nabi, "Kakaknya itulah yang layak disebut saleh". Sahabat itu diam. "Kenapa? Karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya. Ukuran kesalehan, menjadi lebih jelas. Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual.

"Karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah), tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat (hablumminannass)," pungkasnya. Hel/Waw