Sidang Pemotongan Insentif BPPD Sidoarjo, Saksi Ahli Tekankan Ada atau Tidaknya Unsur Pemaksaan


Sidang Pemotongan Insentif BPPD Sidoarjo, Saksi Ahli Tekankan Ada atau Tidaknya Unsur Pemaksaan SAKSI AHLI - Keterangan saksi ahli mewarnai sidang perkara pemotongan insentif pegawai BPPD Pemkab Sidoarjo saat sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya menghadirkan saksi ahli pakar hukum pidana, Dr Bambang Suheryadi (Unair) Senin (27/08/2024).

Sidoarjo (republikjatim.com) - Keterangan saksi ahli mewarnai sidang lanjutan perkara pemotongan insentif pegawai Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Pemkab Sidoarjo. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya itu menghadirkan saksi ahli pakar hukum pidana yakni Dr Bambang Suheryadi dari Unair.

Saksi ahli menekankan ada atau tidaknya paksaan sebagai faktor penting dalam kasus ini.

"Kata kuncinya adalah paksaan. Misalnya, terpaksa karena takut dimutasi atau tidak diikutkan diklat," ujarnya di hadapan majelis hakim Ni Putu Sri Indayani SH MH, Athoillah SH MH dan Ibnu Abas Ali SH MH, Senin (26/08/2024).

Bambang Suheryadi menjelaskan untuk pemerasan dalam pasal 12 huruf e dan huruf f UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan adanya unsur objektif. Salah satunya berupa sifat melawan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

"Pelakunya adalah PNS atau penyelenggara negara. Yang dilakukan adalah memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan dan untuk sesuatu bagi dirinya sendiri," paparnya.

Penasihat hukum Ari Suryono, Ridwan Rahmat pun menanyakan apakah maksud pemotongan itu sebelum atau setelah masuk ke rekening pegawai? Bambang menjawab kata kuncinya di sini adalah adanya paksaan atau tidak? Misalnya tergerak membayar karena takut dimutasi.

"Apakah betul-betul ada yang memerintahkan kalau itu sudah masuk rekening pribadi," katanya.

Nabilla Amir, pengacara lain Ari Suryono lainnya menjelaskan apakah meneruskan kebiasaan penyisihan dari atasan-atasan sebelumnya juga bisa dikategorikan paksaan? Saksi - saksi sebelumnya memberikan keterangan pemotongan insentif ini sudah berlangsung Sejak 2014. Saat Badan Pelayanan Pajak Daerah atau (BPPD) Sidoarjo dikepalai almarhum Joko Santosa.

"Praktik itu berlanjut sampai masa Ari Suryono menjadi kepala BPPD Sidoarjo," urainya.

Saksi ahli Bambang Suheryadi menjelaskan ketika hal itu sudah dilakukan secara berulang-ulang, harus dibuktikan dulu siapa yang memaksa. Pemaksaan perlu dibuktikan dari apakah yang dipotong betul-betul takut akan dapat 'sesuatu' dari atasan atau tidak.

"Misalnya, apakah takut dipindah kalau tidak bayar," katanya.

Apakah ada kesepakatan? Kalau tidak itu berarti tidak ada paksaan. Dalam keterangan saksi-saksi pegawai BPPD Pemkab Sidoarjo mengaku mereka tidak keberatan insentif dipotong karena sudah menjadi kebiasaan.

"Harus dibuktikan memaksa itu bagaimana? Itu melawan hukumnya dengan cara memaksa. Dengan menyalahgunakan kekuasaan," paparnya.

Nabilla pun menegaskan apakah kebiasaan menyerahkan itu dikategorikan sebagai pemaksaan?. Bambang menyatakan harus dibuktikan betul apakah ada misalnya rapat untuk menentukan. Dalam rapat disebutkan nilainya ditentukan.

"Sehingga, yang dipaksa tidak mampu berbuat lain. Apakah dalam rapat ditentukan segini ya segini," jelasnya.

Hakim Athoillah pun bertanya jika tidak ada pemaksaan, tetapi ditaruh kitir (kertas kecil berisi nilai potongan) di meja masing-masing dan tidak saling tahu.

"Apakah masuk kategori pemerasan? juga menjadi pertanyaan," katanya.

Saksi ahli, Bambang Suheriyadi menguraikan apakah ketika ada pemotongan, kemudian ada pegawai yang dimutasi. Karena tidak membayar potongan atau tidak diikutkan diklat tertentu.

"Tapi itu harus dibuktikan," ucapnya.

Jaksa Rikhi Benindo Maghaz mempertanyakan kemungkinan adanya pemaksaan secara psikis. Apakah kekerasan psikis itu dapat diimplementasikan dalam bentuk patuh dan loyal kepada atasan. Bambang menjelaskan selama beberapa kali terjadi pergantian pimpinan, perlu dibuktikan dulu. Apakah pernah terjadi pegawai yang tidak setor atau membayar akhirnya dipindah.

"Sehingga, yang dipotong tidak mungkin berkata tidak. Dalam penerapan hukum pidana, tidak bisa berkata lain itu masuk unsur (pemaksaan)," jelasnya.

Pengacara Nabillah Amir pun bertanya lagi. Kali ini soal tanggung jawab atasan.

"Di manakah letak tanggung jawab jabatan itu jika uang sudah masuk ke rekening pribadi?," tandasnya.

Diberitakan sebelumnya insentif pegawai BPPD Pemkab Sidoarjo ditransfer ke rekening masing-masing pegawai. Baru kemudian potongan disetorkan secara tunai. Ada kertas kecil berupa kitir dengan tulisan kecil berisi nilai pemotongan.

Ditanya soal itu, Bambang sekali lagi menandaskan, yang harus dibuktikan dulu adalah pemaksaan itu terjadi atau tidak. Baru setelah itu dimintai pertanggungjawaban.

"Di situ dibuktikan juga apakah ada penyalahgunaan kekuasaan dan pemaksaan," ucapnya.

Sementara Samiaji Makin Rahmat, tim penasihat hukum Ari Suryono lainnya, seusai sidang menjelaskan selain pembuktian adanya unsur pemaksaan, mens rea (mengharuskan menghukum) atas perbuatannya. Yakni ada unsur penyalahgunaan kekuasaan. Terbukti, dalam persidangan, uang yang menjadi hak pegawai BPPD sudah diterima terlebih dahulu, kemudian baru ada kesepakatan pemberian shodaqoh.

"Faktanya, apakah ada pegawai yang tidak membayar atau protes lantas mendapatkan punishment (hukuman), dimutasi, dipersulit mengikuti kenaikan jabatan, seminar atau pun workshop. Di persidangan tidak ada. Semoga majelis dengan kearifan dan independen dapat memberikan telaah yang obyektif," tandasnya. Ary/Waw