BHS : Saatnya Pemerintah Melihat Multiplier Effect Ketika Harga Solar Diturunkan


BHS : Saatnya Pemerintah Melihat Multiplier Effect Ketika Harga Solar Diturunkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim, Bambang Haryo Soekartono (BHS).

Sidoarjo (republikjatim.com) - Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTl) Jatim, Bambang Haryo Soekartono (BHS) mendesak pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya solar subsidi dan solar non subsidi untuk transportasi. Desakan ini, selain harga minyak mentah dunia harganya anjlok hingga nol US Dollar, juga disebabkan multiplier effect (banyak dampak) ketika harga solar industri diturunkan hingga seharga sesuai harga pasar dunia atau harga sebenarnya.

"Kami mendesak pemerintah menurunkan harga BBM solar industri. Karena bisa dilihat multi player effect saat perekonomian terpuruk karena pandemi virus Corona (Covid-19). Ini waktunya pemerintah menyelamatkan rakyat dan perekonomian karena harga minyak dunia jarang anjlok seperti sekarang ini," terang Bambang Haryo Soekartono kepada republikjatim.com, Rabu (29/04/2020) saat di Media Center BHS di JL Diponegoro, Sidoarjo.

Lebih jauh, kata Bambang Haryo yang juga Bacabup Sidoarjo ini, sejumlah multiplier effect saat BBM Solar diturunkan diantaranya bakal menghidupkan kembali dunia industri dan transportasi yang kini kondisinya mulai terpuruk dampak pandemi Covid-19. Selain itu, agar bisa menggugah perekonomian Indonesia.

"Kalau sektor industri dan transportasi hidup, maka akan menggugah perekonomian rakyat. Termasuk akan meminimalisir rencana perusahaan yang hendak merumahkan atau menjalankan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawannya. Yang tak kalah pentingnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bakal bergeliat lagi. Serta perekonomian tidak bertambah terpuruk," imbuhnya.

Bagi BHS saat ini pemerintah harus memperhatikan desakan itu. Karena kebutuhan dasar (basic need) industri adalah energi atau BBM itu. Apalagi beban terbesar (tertinggi) setiap usaha atau industri ada pada BBM. Yakni bebannya mencapai 30 sampai 60 persen dari seluruh biaya produksi.

"Pemerintah harus memperhatikan dan mempertimbangkan multiplier effect saat harga solar industri diturunkan sesuai harga sebenarnya. Desakan ini agar perekonomian tetap membaik dan daya beli masyarakat terdongkrak (naik)," tegasnya.

Tidak hanya itu, kata mantan anggota DPR RI periode 2014-2019 ini, jika harga solar diturunkan maka akan berdampak pada penurunan harga listrik. Karena 20 persen listrik disuplai dari tenaga diesel (solar). Apalagi, saat ini harga batubara juga sudah anjlok drastis.

"Saat tarif listrik turun, maka secara ekonomi bakal membantu perekonomian rakyat. Bahkan mampu membuat dunia usaha dan UMKM survive. Hal ini bisa berimbas pada daya beli masyarakat tetap stabil. Begitu juga sektor dunia pariwisata, hotel dan restoran akan merasa terbantu. Sehingga tidak akan ada kasus PHK karyawan," paparnya.

Karena itu, politisi Partai Gerindra ini meminta Presiden Jokowi beserta menteri keuangan dan menteri perekonomian agar mendesak menteri ESDM dan Pertamina segera menurunkan harga solar subsidi dan non subsidi sesuai harga internasional yang sesungguhnya berkisar Rp 3.000 per liter. Penurunan harga solar subsidi dan non subsidi itu berdampak besar bagi perekonomian. Sedangkan untuk BBM kendaraan privat (pribadi) yakni harga premiun tidak perlu diturunkan untuk membatasi warga bergerak saat pandemi Covid-19.

"Kalau Pak Presiden bisa menurunkan harga solar subsidi dan non subsidi, maka inilah saatnya Pak Presiden Jokowi menunjukkan kinerjanya yang pro rakyat sekaligus membuktikan Nawacitanya," pintahnya.

Menurut BHS, jika harga solar subsidi dan non subsidi turun 50 persen bakal memudahkan transportasi dan distribusi logistik akan lebih murah. Saat usaha transportasi survive maka akan menghidupkan kembali pasokan (distribusi) logistik ke semua wilayah kepulauan di Indonesia terpasok dengan harga murah.

"Karena itu, harga enegeri solar industri harus dikurangi (reduce). Saat ini waktunya pemerintah menunjukkan kebijakannya yang pro rakyat agar bisa menyelamatkan rakyat di tengah pandemi Covid-19," pintahnya.

Sementara saat ini, sejumlah negara penghasil minyak diantaranya Malaysia, Uni Soviet, Brunei Darussalam dan bahkan Amarika sudah mematok harga BMM setara Rp 2.000 - Rp 4.000 per liter. Selanyaknya di Indonesia sebagai penghasil minyak juga menyesuaikan dan menurunkan harga minyak (solar) itu. Saat ini, pemerintah harus membuat kebijakan yang tepat. Apalagi, bukan hanya harga minyak dan batubara yang anjlok. Harga gas pun turun drastis.

"Gas internasional sudah di posisi 2 US Dolllar per MMBTU hingga 3 US Dollar per MMBTU. Padahal Indonesia sebagai salah satu penghasil gas terbesar di Asia. Kalau harga gas turun maka harga pupuk juga akan turun 50 persen. Ini tentu membantu iklim dunia pertanian. Sehingga dapat menyemarakkan hasil komoditas pangan di Indonesia. Karena produksi pupuk 70 persen membutuhkan gas sebagai biaya pokok produksi," tandasnya. Hel/Waw