Bambang Haryo : Wajib Tes Covid-19 Calon Penumpang Transportasi Kebijakan Berlebihan


Bambang Haryo : Wajib Tes Covid-19 Calon Penumpang Transportasi Kebijakan Berlebihan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim, Bambang Haryo Soekartono (BHS)

Surabaya (republikjatim.com) - Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menilai kebijakan mewajibkan tes Covid-19 bagi calon penumpang pesawat udara dan kapal laut dinilai berlebihan. Bahkan dianggap tidak beralasan karena sangat membebani masyarakat.

Selain itu, diduga kebijakan tes Covid-19 itu sebagai kebijakan yang diskriminatif.

"Padahal, tes Covid-19 itu cenderung membebankan biaya tinggi bagi masyarakat, menyita waktu dan tidak menjamin calon penumpang bebas dari virus Covid-19 saat menggunakan sarana dan prasarana transportasi itu," terang Bambang Haryo kepada republikjatim.com, Jumat (12/06/2020).

Menurut BHS, sebelum menggunakan transportasi pesawat dan kapal laut, para calon penumpang harus melewati transportasi lanjutan sebelum dan sesudah. Bahkan harus melewati infrastruktur terminal serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak berstandarisasi bebas Covid-19 yang terupdate. Sedangkan para calon penumpang harus mengikuti tes setiap 3-7 hari seperti yang diterapkan kepada calon penumpang. Hal ini menunjukkan para calon penumpang harus berstandarisasi bebas covid-19 dengan lama waktu pemeriksaan antara 3-7 hari.

"Kami tidak sepakat dengan Surat Edaran Gugus Tugas (SEGT) Nomor 7 Tahun 2020. Apalagi, salah satu persyaratannya calon penumpang transportasi umum baik laut maupun udara yang hendak melaksanakan perjalanan harus mengikuti uji tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku 7 hari dan uji rapid test yang berlaku 3 hari saat keberangkatan," imbuhnya.

Bagi anggota DPR RI Komisi V Fraksi Gerindra periode 2014-2019 ini, kebijakan SEGT Nomor 7 Tahun 2020 sangat bias dan tidak efektif. Jika semua petugas yang ada di pelabuhan laut maupun udara termasuk regulator yang ada didalamnya serta crew, petugas tenant, petugas kementerian kesehatan maupun keamanan di terminal tidak melaksanakan test PCR setiap 3-7 hari dan menstandarkan bebas Covid-19 bagi terminal dengan mendapatkan sertifikasi maksimal setiap 7 hari sekali.

"Kami menilai SEGT Nomor 7 Tahun 2020 yang diberlakukan untuk penumpang menjadi tidak ada manfaatnya. Karena calon penumpang moda transportasi akan berinteraksi dengan SDM dan infrastruktur terminal. Pesawat dan kapal itu transportasi publik. Penumpang pasti akan berinteraksi dengan fasilitas publik selama perjalanan. Mulai dari tempat asalnya hingga tujuan. Apakah pemerintah bisa menjamin alat transportasi dan terminal bandara atau pelabuhan pasti steril dari Covid-19? Itu jelas tidak mungkin," tegasnya.

Kalau semua kebijakan dijalan dengan fair, lanjut BHS maka tidak hanya calon penumpang yang diwajibkan test Covid-19. Akan tetapi seluruh komponen yang ada di bandara atau pelabuhan serta semua transportasi publik dari tempat asal yang menuju terminal maupun dari terminal menuju tempat tujuan akhir juga wajib mengikuti tes PCR rutin per 3-7 hari.

"Jadi jangan menyudutkan konsumen. Sementara pemerintah yang menyediakan infrastruktur dan sumber daya manusia di terminal, pelabuhan dan bandara tidak melaksanakan tes berstandarisasi Covid-19," paparnya.

Bambang Haryo yang pernah menjadi Senior Investigator KNKT ini mengingatkan, jika transportasi merupakan urat nadi dan darah perekonomian. Karena itu, tidak boleh dihambat dengan aturan yang tidak penting dan berbiaya tinggi. Berdasarkan data di lapangan, biaya test Covid-19 secara mandiri relatif mahal. Biaya rapid test misalnya, sekitar Rp 400.000. Sementara test swab PCR berkisar Rp1,5 juta dengan hasil test keluar dalam 10 hari, Rp 3,5 juta dengan hasil keluar 7 hari dan Rp 6,5 juta dengan hasil keluar 3 hari.

"Saya menduga terlihat adanya indikasi memanfaatkan pandemi Covid-19 ini sebagai ajang untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Kementerian Perhubungan bisa dikendalikan kebijakan Gugus Tugas yang cenderung tidak berdasar," jelas Alumnus ITS Surabaya ini.

Saat ini Presiden Jokowi, lanjut BHS sudah bersiap menerapkan New Normal. Karena itu, kebijakan Gugus Tugas itu seharusnya sudah dicabut. Apalagi sebagian besar kota besar di Indonesia sudah menyandang predikat zona merah dan bahkan hitam.  Dengan status zona merah dan zona hitam itu, maka interaksi antar kota di dalam kepulauan atau antar pulau sudah tidak perlu pengetatan sesuai SEGT Nomor 7 Tahun 2020. Hal ini seperti yang diberlakukan di sebagian besar negara lain. Diantaranya Jepang, Amerika Serikat, Negara Eropa, Australia, Malaysia, Filipina dan lainnya.

"Negara-negara itu tidak memberlakukan kewajiban pemeriksaan tes Covid-19 atau PCR bagi penumpang pesawat, kapal laut dan termasuk penumpang kereta api," ungkapnya.

Bambang menegaskan ketentuan SEGT Nomor 7 Tahun 2020 yang diberlakukan untuk transportasi udara, laut dan darat di Indonesia terkesan Kementerian Perhubungan sebagai subsektor terlihat lemah. Bahkan kurang memahami esensi kebijakan transportasi sehingga ada indikasi mudah dikendalikan kepentingan komersial.

"Kalau aturan itu tetap dipaksakan, saya menduga ada indikasi permainan oknum di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan dengan pengusaha oportunis memanfaatkan kondisi untuk komersialisasi tes Covid-19. Seharusnya YLKI dan Ombudsman serta DPR RI bertindak tegas memastikan adanya dugaan konspirasi ini," tandasnya. Hel/Waw