Andi Syafrani : RUU Cipta Kerja Tidak Mengancam Pesantren dan Mempidanakan Kiai


Andi Syafrani : RUU Cipta Kerja Tidak Mengancam Pesantren dan Mempidanakan Kiai DIALOG - Pengacara Syariah sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Andi Syafrani berdialog soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak mengancam keberadaan pesantren dan mempidanakan kiai.

Sidoarjo (republikjatim.com) - Pengacara Syariah sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Andi Syafrani menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja tidak mengancam keberadaan pesantren dan mempidanakan kiai. Hal itu disampaikan Andi dalam merespon kekhawatiran sejumlah pihak atas informasi yang beredar secara masif di media sosial terkait RUU Cipta Kerja dan dampaknya terhadap pesantren.

Kekhawatiran itu juga disampaikan Ketua Presidium Forum Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten KH Sulaiman Effendi dalam Forum Mudzakarah Kiai Menimbang Kemaslahatan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam Perspektif Pesantren, yang digelar FSPP Banten, di Serang, Senin (07/09/2020).

"Ada enam undang-undang terkait pendidikan dan kebudayaan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Terkait pendidikan diatur dalam RUU Cipta Kerja hanyalah perizinannya. Untuk UU Nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren tidak termasuk salah satu yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Dalam ushul fiqih, RUU Cipta Kerja sudah muqoyyad (terbatas) mengatur enam UU terkait kebudayaan dan pendidikan. UU tentang Pesantren tidak diatur di RUU Cipta Kerja," ujar Andi yang juga Ketua Ikatan Alumni Pesantren Mambaul Hikam Jombang ini.

Lebih jauh, Andi menjelaskan soal pendidikan, UU utama yang dimuat dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurutnya pasal 62 UU Sisdiknas 2003 mengatur soal kewenangan perizinan lembaga pendidikan. Sedangkan pasal 71 Sisdiknas mengancam pidana bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin berusaha pendirian lembaga pendidikan formal ataupun nonformal.

"RUU Cipta Kerja mengubah pasal 62 dan 71 Sisdiknas terkait kewenangan perizinan pendirian lembaga pendidikan saja. Dari kewenangan pemerintah daerah atau pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah pusat saja. Pasal 71 yang mengatur soal pidana bagi lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin bukan pasal baru dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 71 ini bukan pasal baru dalam RUU Cipta Kerja. Tetapi sudah ada sejak tahun 2003. Sepanjang menjadi praktisi hukum, belum pernah dengar ada sekolah (pendiri) yang terkena pidana karena pasal 71 ini. Yang kena pidana bisanya yang memalsukan akreditasi dan pemalsuan ijasah," imbuh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syraif Hidayatullah Jakarta ini.

Bagi Andi pasal 62 dan 71 UU Sisdiknas 2003 yang dimuat dalam RUU Cipta Kerja ini yang dalam beberapa minggu terakhir memicu anggapan lembaga informal yang dimaksud dalam UU Sisidknas 2003 termasuk lembaga pesantren. Menurutnya, lembaga pesantren berbeda dengan lembaga pendidikan formal ataupun informal yang diatur dalam UU Sisdiknas 2003.

"Alhamdulillah, dengan adanya UU tentang Pesantren, eksistensi pesantren itu menjadi spesial. Pendidikan informal dalam UU Sisdiknas 2003 adalah lembaga-lembaga pendidikan untuk ketrampilan, seperti lembaga-lembaga kursus," tegasnya.

Andi justru mempertanyakan sejumlah pihak yang mempermasalahkan pasal 71 dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang dianggap akan mengancam eksistensi lembaga pendidikan. Menurutnya, kenapa tidak dipermasalahkan dari dulu. Padahal pasal ini sudah ada sejak Tahun 2003.

"Dulu tidak ada satu pun tokoh agama yang memprotes tentang keberadaan pasal 71 UU Sisdiknas 2003. Pasal ini tidak baru. Kalau mengangkat ini menjadi masalah, itu sudah basi. Itu ada tendensi politik," ungkap Mustasyar PCNU Cabang Australia-Selandia Baru (2007-2009) ini.

Menurut Andi, RUU ini mengatur perizinan lembaga pendidikan karena RUU Cipta Kerja ingin menyederhanakan segala perizinan menjadi satu pintu, yakni melalui pemerintah pusat. Tidak hanya izin usaha dan investasi, tapi juga pendirian lembaga pendidikan. Karena itu, hambatan utama usaha dan investasi di Indonesia itu cukup berlika-liku dan berlapis-lapis.

"Perizinan dari tingkat daerah hingga tingkat pusat dan dari instasi satu ke instasi lain. Meski bisa memahami motif penyederhanaan perizinan," jelas Alumnus magister di Victoria University Melbourne Australia ini mengkritisi upaya pemerintah pusat untuk melakukan sentralisasi perizinan dalam RUU Cipta Kerja.

Hal senada disampaikan narasumber lain yakni Sekjen FSPP Provinsi Banten Fadlullah. Dia memberikan catatan terkait RUU Cipta Kerja terkait sentralisasi. Ia menilai gerakan reformasi menuntut desentralisasi. Namun semangat RUU Cipta Kerja justru ingin mengembalikan sentralisasi perizinan dalam dunia pendidikan.

"Catatan lainnya, perizinan menjadi ladang bagi praktik korupsi. Zaman Nabi tidak ada itu perlu surat izin. Di negara kita, surat izin menjadi asal-usul praktik korupsi dari level pusat, provinsi hingga tingkat RT," paparnya.

Fadlullah mengapresiasi hadirnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang secara eksklusif mengatur pesantren dan tidak dimuat dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, dari empat ribu pondok pesantren di Provinsi Banten, hanya satu pesantren yang sudah menggunakan sistem muadalllah (kesetaraan dengan Pendidikan formal).

"Yang harus diperhatikan dalam isu perizinan bukan hanya terkait eksistensi pondok pesantren saja. Tetapi berbagai satuan pendidikan formal dalam lingkungan pesantren yang merujuk UU Sisdiknas serta bisnis pesantren. Perbincangan tentang izin, harusnya bukan hanya izin operasional pendirian pondok pesantren dan izin satuan pendidikan yang dikelola pesantren. Tetapi izin-izin kegiatan usaha yang dilakukan pesantren, yang keuntungannya untuk kepentingan pembiayaan pesantren secara mandiri," tandasnya. Hel/Waw